Ujung tombak kualitas pendidikan adalah guru dan pelaku pendidikan. Tidak bisa di bilang tidak.
Banyak orang yang bertanya, mengapa guru guru pada jaman dahulu mampu menghasilkan orang orang yang luar biasa, meskipun dalam kondisi sulit sekalipun.
Jawabannya, karena passion guru dahulu dan sekarang berbeda. Guru jaman dahulu sudah memiliki hasrat yang kuat sebagai pendidik dan pengajar sebelum dia menjadi guru. Sudah sejak awal mereka “ingin”.
Mereka juga menjaga tingkah lakunya sebagai guru dan menyesuaikan diri dalam norma dan hukum yang berlaku di lingkungan guru tinggal.
Guru menempatkan diri dalam kasta yang mulia, menjadi sumber rujukan dan berguna bagi lingkungannya.
Sehingga dapat dijadikan panutan.
Berbeda dengan guru yang sekarang, hanya sedikit yang memiliki panggilan jiwa sebagai seorang pendidik sejati.
- Mereka menjadi guru karena tidak ada lowongan pekerjaan lainnya.
- Mereka menjadi guru karena ingin mendapatkan gaji yang sekarang sudah lumayan.
- Guru yang tidak bisa menjadi imam ketika sholat,
- Guru yang tidak bisa menguasai anak didiknya,
- Guru ketika kegiatan pramuka tidak dapat mencontohkan jenis simpul dan anyaman
- Guru ketika ditanya murid tentang semaphore tidak bisa menjawab,
- Guru ketika diminta untuk memberi sambutan malah pura pura sakit dirumah.
- Guru yang tidak pernah bisa bersosialisasi di masyarakat.
- Guru yang sering main ke. hotel
- Guru yang lebih asyik main smartphone ketika mengajar.
Karena passionnya saja sudah berbeda, maka dari itu hasil dari produk pendidikan juga berbeda.
Pribadi guru baru sekarang juga sangat jauh dari yang namanya pendidik sejati.
Banyak guru yang tersangkut masalah memalukan. Misalkan guru berselingkuh dengan guru yang lain. Guru tertangkap tidak sedang bertugas di Mall. Guru muda yang hamil duluan. Guru cabul dan masih banyak kasus memalukan lain yang tidak pantas dilakukan oleh seorang pendidik.
Secara akademis, guru yang sekarang memang lebih baik daripada guru pada jaman dahulu. Tapi secara kepribadian tidak.
Ketika ditanyakan tentang akhlak, mereka dengan ringan menjawab, aku kan bukan guru agama.
Lebih parahnya lagi, ada lagi guru agama yang tidak pernah sholat.
Bagi sebagian dari mereka, guru hanyalah tempat untuk status agar tidak dikatakan sebagai “pengangguran”.
Jadi, dengan gaji yang lebih besar. Bukan jaminan pendidikan lebih maju.
hmmm …. setuju, dalam satu sekolah dengan guru yang berjumlah 50 an orang mungkin yang benar2 memiliki passion mjd guru tak sampai 15 orang. Setidaknya itulah yang kutemui.
LikeLike
dan mungkin yang gak sampai 15 ini terpinggirkan
LikeLiked by 1 person
Betul, yg gak sampai 15 ini berkutat dg buku dan murid dan jarang yang berambisi jadi kepsek, hingga akhirnya kebanyakan kepsek dari yg bukan 15 itu …
LikeLike
tapi hasil tidak bohong 🙂
LikeLiked by 1 person
Aamiin …
LikeLiked by 1 person
Hallo,
Artikel menarik. Padahal mental suatu bangsa bermula dari pendidikan. Pendidikan juga ditentukan dari mental si pendidik ya. Saya pernah membantu teman buat artikel untuk diajukan sebagai calon kepala sekolah https://liwunfamily.com/2010/08/10/pendidikan-melandasi-perilaku-seseorang/
Jika berkenan boleh ditengok 😁
Mari berbagi!
Salam,
Anna
LikeLike
saya sudah menengok artikelnya, cukup mendalam
LikeLike
Berat ya bahasanya 😄😄😄 namanya karya tulis buat calon kepsek hahahahaha… lupakan kalo gitu✌
LikeLike
yang penting banyak istilah asing yang relevan
LikeLiked by 1 person
Mungkin karena faktor perkembangan zaman yg membuat guru seperti kurang greget saat ini. Seharusnya “pabrik” yg menghasilkan para guru harus ditingkatkan kualitasnya agar menghasilkan guru-guru yg berkualitas dan juga berdedikasi 😀
LikeLike
utamanya adalah pola fikir, jasmani dan rohani yang seharusnya ditanamkan sejak kecil oleh org tua calon guru, sehingga pada saat sdh jdi guru mnjadi manusia yg berkualitas
LikeLike
Masalahnya sekalian adalah, sebagian besar dari mereka yang menjadi guru adalah berprinsip daripada tidak Bekerja
LikeLike